Minggu, 05 Oktober 2008

Membangun Kader Kepemimpinan

Anggota DPR-RI FPG Komisi III
Agun Gunandjar Sudarsa
Sunday, March 09, 2008 13:38:53

Membangun Kader Kepemimpinan
Topik kepemimpinan untuk saat ini menjadi sangat penting dan menentukan dalam menggapai tujuan negara. Terlebih lagi dengan telah berubahnya UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang mengatur organisasi negara. Dimana terjadi perubahan yang sangat mendasar berkaitan dengan berbagai kewenangan konstitusional yang diemban oleh berbagai lembaga negara, seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, BPK, dan lembaga-lembaga negara baru yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945.

UUD 1945 yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal sepatutnya harus menjadi Visi Bangsa/Visi Negara yang harus dicapai sekaligus menjadi norma dasar untuk mencapainya. Visi merupakan komponen vital yang menjadi daya dorong bagi pimpinan dalam hal menetapkan apa yang harus dikerjakan, sekaligus mengartikulasikan, memformulasikan, dan mengimplementasikannya.

Singkatnya, pemimpin harus memiliki visi yang jelas. Bahkan Ordwey Tead and George R. Terry (1965) dalam “The Traith Theory of Leadership” mengungkapkan sejumlah karakteristik kepemimpinan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam organisasi mulai dari jasmani dan rohani, kesadaran akan tujuan, antusiasme, keramahan dan kecintaan, integritas, penguasan teknis, ketegasan dalam mengambil keputusan, kecerdasan, keterampilan menjelaskan sampai kepercayaan dari yang dipimpinnya.

Karakteristik kepemimpinan yang dibutuhkan dalam organisasi tersebut dapat diukur dari kapasitas kepemimpinannya yang meliputi:
1.
Kemampuan dalam hal pengambilan keputusan
2. Pertanggungjawaban (akuntabilitas).

Tulisan ini tidak akan menyoroti secara tajam berbagai teori, paradigma, tipe dan gaya kepemimpinan, namun akan difokuskan kepada bagaimana membangun kader kepemimpinan pada tingkat negara, aparatur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sebagaimana yang diminta pihak Lembaga Administrasi Nasional (LAN) RI.

Dibagian awal tulisan kami menyinggung berbagai hal yang berkaitan dengan topik kepemimpinan.

  1. Tingkat signifikansinya dalam pencapaian tujuan.
  2. Telah terjadinya perubahan terhadap hukum dasar/Konstitusi.
  3. pentingnya visi yang harus dimiliki para pemimpin.

Yang kesemuanya itu harus menjadi pemahaman, penguasaan, dan komitmen semua penyelenggara negara, aparatur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

Oleh karena itu, untuk membangun kepemimpinan yang diharapkan baik pada tingkat negara, aparatur pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat, menurut pendapat penulis ada beberapa hal yang harus disikapi:

  1. Siapa dan lembaga mana pada level “Policy” yang paling bertanggungjawab dalam hal membangun kader kepemimpinan pada semua strata yang ada?
  2. Bagaimana kurikulum, silabus, metode, serta staf pengajarnya, apakah sudah memiliki visi yang sama dalam membentuk kader kepemimpinan bangsa?
  3. Berbagai pendidikan dan latihan kepemimpinan yang berlangsung selama ini apakah secara objektif sudah benar-benar ke arah pencapaian tujuan organisasi mulai dari negara sampai dengan masyarakat?

Berbagai pertanyaan tersebut silahkan didiskusikan, dirumuskan, dan dicarikan jalan keluarnya. Namun, menurut penulis kesimpulan apapun yang dihasilkan dari pertanyaan tersebut tidak akan mampu memecahkan permasahan kepemimpinan, apabila tidak menyentuh pada “problem kepemimpinan” itu sendiri.

Kepemimpinan berbeda dengan manajemen. Kepemimpinan lebih pada kualitas personal, yang berkaitan dengan kemampuan mempengaruhhi orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.

Oleh karenanya, ada beberapa problem kepemimpinan yang harus segera mendapatkan prioritas untuk segera dipecahkan, guna semakin efektif dan efisiennya penyelenggaraan negara, pemerintahan, dunia usaha, dan masyarakat, agar kita mampu mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain, dari himpitan hutang, kemiskinan, dan kemelaratan. Sementara kita adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam, serta memiliki posisi yang sangat strategis dan luas wilayah yang sangat signifikan.

Problem kepemimpinan tersebut adalah:

  1. Pemahaman dan penguasaan Visi Bangsa/Visi Negara.
  2. Berkembangnya arogansi kekuasaan.
  3. Menguatnya egoisme sektoral.
  4. Kurangnya apresiasi negara terhadap profesi/prestasi bawahan.
  5. Ketidakjelasan posisi dan peran lembaga pembentuk kader kepemimpinan.
Pertama, Tentang Visi.

Bagaimana tujuan negara akan tercapai, penyelenggaraan pemerintahan semakin efisien dan efektif, demikian pula dunia usaha dan masyarakat akan bersinergi mencapai masyarakat yanga aman, damai, adil, dan demokrasi dalam lembaga negara, jika para elitnya tidak memahami dan tidak menguasai UUD 1945. Yang seharusnya UUD 1945 yang terdiri Pembukaan dan Pasal-Pasal tersebut dijadikan Visi bangsa/Visi negara. Demikian halnya dengan kondisi georafi bangsa yang terletak diantara dua benua dan dua samudra yang memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia (95.181 km) setelah Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia, memiliki kurang lebih 17.500 pulau dengan dua per tiga wilayahnya lautan. Sementara politik pemerintahan dan pembangunannya berorientasi ke daratan. Apa yang terjadi? Di daratan terjadi penumpukan kebijakan, semakin terbatasnya lahan, kerusakan, dan potensi ekonominya secara signifikan terjadi penurunan. Kita bangga dengan sebutan negara agraris, faktanya pengimpor beras.

Inilah yang kami maksud dengan Visi bangsa/Visi Negara yang harus dipahami oleh para penyelenggara negara, aparatur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang bercirikan nusantara (Pasal 25A) yang berpijak kepada paham Negara Kesatuan Pasal 1 ayat (1)), Negara Demokrasi (Pasal 1 ayat (2)), Negara Hukum (Pasal 1 ayat (3)), Negara Kesejahteraan (Pasal 33, 34), Negara Berketuhanan (Pasal 29). Sudahkah hal ini disadari? penulis berpendapat untuk membentuk kader kepemimpinan, kiranya visi ini perlu ditegaskan, dihayati, dilaksanakan, dan ditaati oleh para pemimpin bangsa, baik pada tingkat negara, aparatur pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.

Kedua, Berkembangnya Arogansi Kekuasaan

Arogansi ini terjadi pada tingkat institusi/lembaga negara maupun para elitnya dengan menafsirkan dan melaksanakan kewenangannya sepihak, bahkan melampaui kewenangan yang diberikan, bahkan juga dia tidak melaksanakan kewenangan justru minta tambah kewenangan. Di lingkungan masyarakat luas lewat berbagai pakar dan pengamat yang menafsirkan secara sepihak terhadap UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sehingga terjadi kerancuan/kekacauan dalam penerapan dan pelaksanaannya. Hal ini terjadi akibat tidak tumbuh dan berkembangnya secara sehat kultur demokrasi kita.

Ketiga, Egiosme Sektoral

Ini juga problem kepemimpinan dimana berbagai institusi pemerintahan dan para elitnya merasa dan memposisikan dirinya lebih penting. Hal ini bisa dilihat masing-masing dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dimana terjadi antara institusi pemerintah maupun dalam interen institusi itu sendiri, demikian halnya antara pusat dan daerah. Egoisme ini juga ditandai dengan menjamurnya institusi-institusi baru sehingga terjadi duplikasi, karena masing-masing saling mengedepankan independensinya.

Keempat, Aspek Keteladanan

Ini problem kepemimpinan klasik yang masih terus berlangsung hingga saat ini, jarang sekali di dapatkan pemimpin (elit) yang tegas, berani ambil resiko, siap mundur, bahkan banyak para pemimpin yang mulai kehilangan komitmen, kehangantan, kejujuran dan sensitifitas. Yang justru ini akan menghilangkan kepercayaan (FAITH), karena sesungguhnya kepercayaan adalah karakteristik kepemimpinan yang harus dimiliki setiap pemimpin. Masyarakat mulai kehilangan sosok-sosok figur yang memiliki nilai keteladanan.

Kelima, Kurangnya Apresiasi Terhadap Prestasi

Negara atau pemimpin seharusnya memberi apresiasi yang cukup terhadap rakyat atau bawahannya, agar masyarakat atau orang yang dipimpinannya memberi dukungan dan bekerja lebih maksimal sehingga tujuan organisasi dapat mudah dicapai. Bagaimana partisipasi akan tumbuh kalau pemimpinnya tidak menghargai bahkan merendahkan profesi atau prestasi yang dibuatnya.

Ini juga problem kepemimpinan yang harus diarahkan agar negara/pemerintah/elit/pemimpin pada semua tingkatan memberikan pengakuan dan penghargaan yang memadai.

Keenam, Ketidakjelasan Posisi dan Peran Lembaga Pembentuk Kader Kepemimpinan.

Posisi dan peran lembaga negara/lembaga pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang bertanggungjawab di bidang kebijakan pengembangan dan pembentukan kader kepemimpinan, hingga saat ini tidak jelas.

Yang sesungguhnya harus ada lembaga negara mana yang bertanggungjawab untuk tingkat negara, lembaga pemerintah mana pada level aparatur pemerintah, dan harus dibuat kebijaksanaan pemerintah atau oleh negara berkenaan dengan kewajiban membangun kader kepemimpinan pada semua level strata sosial.

Demikian beberapa problem kepemimpinan yang dapat kami gagas dalam rangka membangun kader kepemimpinan bangsa kedepan karena sesungguhnya tidak ada rakyat yang dapat disalahkan apabila suatu bangsa atau negara menjadi semakin miskin kecuali para pemimpinnya yang tidak memiliki mutu dan karakteristik kepemimpinan.

Jakarta, 13 Juni 2007


Mantan Anggota Panitia Ad Hoc (PAH) I BP MPR yang membidangi Perubahan UUD 1945, saat ini sebagai Ketua Pansus RUU Kementerian Negara, Anggota Komisi III DPR RI